Solar Industri - Sejumlah perusahaan pemegang izin usaha niaga umum bahan bakar minyak (BBM) mulai menurunkan harga jual solar tak bersubsidi bagi industri (High Speed Diesel/HSD). Langkah ini dilakukan menyusul anjloknya harga jual minyak dunia, yang menyentuh level US$ 40 per barel dalam beberapa hari terakhir.
|
Solar industri |
Salah satunya adalah PT AKR Corporindo Tbk, yang menjual solar industri di level Rp 6.400 per liter, lebih murah Rp 500 per liter dibandingkan dengan harga solar subsidi yang dijual PT Pertamina (Persero) Rp 6.900 per liter.
"Mulai selasa kemarin AKR memang sudah menjual solar ada yang di angka Rp 6.400 per liter, Rp 6.800 per liter sampai ada juga yang di Rp 8.000 per liter. Namun harga yang diberikan tadi akan mengacu pada banyaknya volume yang dibeli," ujar Sekretaris Perusahaan AKR Corporindo, Suresh Vembu kepada CNN Indonesia, Kamis (20/8).
"Tapi kalau ditanya apakah sekarang ada yang lebih murah dari yang di SPBU, ya benar," lanjutnya.
Suresh menjelaskan, lebih murahnya harga jual solar AKR ketimbang solar subsidi di SPBU tak lepas dari turunnya harga minyak (gasoil) Singapura yang selama ini menjadi acuan pembentukan harga solar perseroan.
Dalam beberapa hari terakhir, rerata harga minyak (gasoil)
jual solar industri di medan singapura atau mean of platts Singapore (MOPS) anjlok menyusul kejatuhan minyak dunia versi WTI maupun Brent.
Lantaran masih mengacu formula MOPS, katanya jangan heran jika harga jual solar industri AKR lebih murah ketimbang solar subsidi yang dijual ke masyarakat.
"Dan ini adalah strategi dan policy (kebijakan) setiap perusahaan untuk mengambil pasar. Jadi saya pikir sah-sah saja kalau AKR lebih murah," cetus Suresh.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Pemasaran Pertamina, Ahmad Bambang mengaku tak heran jika harga solar AKR lebih murah ketimbang harga solar yang dijual jajarannya di SPBU. Bambang berkilah, masih tingginya harga jual solar subsidi di SPBU karena Pertamina diwajibkan melakukan pencampuran biodiesel untuk setiap liter solar (fame), serta dikenakannya Pajak Penambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) pada setiap penjualan BBM.
"Inilah tantangan kami yang nyata di lapangan. Kami sulit bersaing jika harga turun tapi harus menanggung stok (operasional) nasional, hingga bertanggung jawab atas security of supply ke seluruh Indonesia. Jujur saja harga Pertamina meski sudah mendapatkan diskon yang terbesar, (solar industri) ya masih Rp 8.000, per liter," kata Ahmad Bambang.
Sementara pengamat energi dari Universitas Trisakti, Pri Agung berpendapat, fenomena lebih murahnya solar industri dibandingkan solar bersubsidi dalam beberapa hari terakhir disebabkan karena pemerintah telah menginstruksikan Pertamina untuk menahan harga BBM di SPBU
Supplier solar industri Hal ini dilakukan menyusul kerugian Pertamina akibat tak konsistennya pemerintah menerapkan pencabutan subsidi pada produk Premium dan hanya memberikan subsidi Rp 1.000 per liter untuk produk solar.
"Jadi kalau sekarang harga minyak dunia turun sementara harga solar di SPBU tidak juga turun, saya lihat ini lebih dikarenakan upaya pemerintah untuk memberikan ruang Pertamina untuk menutupi selusih rugi penjualan BBM yang katanya mencapai Rp 12 triliun. Kalau diminta untuk menilai, jelas ini menyalahi APBNP 2015," kata Pri Agung.
Terkait upaya menahan harga jual solar subsidi, Pri bilang sudah seharusnya Kementerian Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BKP) turut campur dalam mengawasi pencatatan menyoal keuntungan yang dikutip Pertamina.
Ini dilakukan lantaran perusahaan migas
Jual solar industri di sumut pelat merah tersebut mulai mengutip untung dari setiap liter BBM subsidi yang dijual ke masyarakat.
"Karena saya pikir yang tahu hitung-hitungannya cuma ESDM selaku Kementerian teknis dan Pertamina. Jadi sedari awal kebijakan ya sudah salah," jelas Pri. (ags/gen)